Sabtu, 09 Juli 2011

Ambon Manise


Sejarah Ambon

Pada tahun 1575, saat dibangunnya Benteng Portugis di Pantai Honipopu, yang disebut Benteng Kota Laha atau Ferangi, kelompok-kelompok masyarakat kemudian mendiami sekitar benteng. Kelompok-kelompok masyarakat tersebut kemudian dikenal dengan nama soa Ema, Soa Kilang, Soa Silale, Hative, Urimessing dan sebagainya. Kelompok-kelompok masyarakat inilah yang menjadi cikal bakal terbentuknya Kota Ambon. Dalam perkembangannya, kelompok-kelompok masyarakat tersebut telah berkembang menjadi masyarakat Ginekologis territorial yang teratur. Karena itu, tahun 1575 dikenal sebagai tahun lahirnya Kota Ambon. Pada tanggal 7 September 1921, masyarakat Kota Ambon diberi hak yang sama dengan Pemerintah Colonial, sebagai manifestasi hasil perjuangan Rakyat Indonesia asal Maluku. Momentum ini merupakan salah satu momentum kekalahan politis dari Bangsa Penjajah dan merupakan awal mulanya warga Kota Ambon memainkan peranannya di dalam Pemerintahan seirama dengan politik penjajah pada masa itu, serta menjadi modal bagi Rakyat Kota Ambon dalam menentukan masa depannya. Karena itu, tanggal 7 September ditetapkan sebagai tanggal kelahiran Kota Ambon.
Sejarah Penentuan Lahirnya Kota Ambon
Hari lahir atau hari jadi kota Ambon telah diputuskan jatuh pada tanggal 7 September 1575 dalam suatu seminar di Kota Ambon. Bagaimana penentuan hari jadi kota kita yang telah berumur ratusan tahun itu, sejarahnya dapat dijelaskan sebagai berikut : Bahwa yang mengambil inisiatif atau gagasan untuk mencari dan menentukan hari jadi atau hari lahir Kota Ambon adalah Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Ambon Almarhum Letnan Kolonel Laut Matheos H. Manuputty (Walikota yang ke- 9).
Untuk itu dikeluarkannya Surat Keputusan Walikotamadya Kepala Daerah tingkat II Ambon tertanggal 10 Juli 1972 nomor 25/KPTS/1972 yang diubah pada tanggal 16 Agustus 1972, yang isinya mengenai pembentukan Panitia Khusus Sejarah Kota Ambon dengan tugas untuk menggali dan menentukan hari lahir kota Ambon. Kemudian dengan suratnya tertanggal 24 Oktober 1972 nomor PK. I/4168 selaku Panitia Khusus Sejarah Kota Ambon menyerahkan tugasnya itu kepada Fakultas Keguruan Universitas Pattimura untuk menyelenggarakan suatu seminar ilmiah dalam rangka penentuan hari lahir Kota Ambon.
Selanjutnya pada tanggal 26 Oktober 1972 Pimpinan Fakultas Keguruan mengadakan rapat dengan pimpinan Jurusan Sejarah dan hasilnya adalah diterbitkannya Surat Keputusan Dekan Fakultas Keguruan Universitas pattimura tertanggal 1 Nopember 1972 nomor 4/1972 tentang pembentukan Panitia Seminar Sejarah Kota Ambon. Seminar sejarah ini berlangsung dari tanggal 14 sampai dengan 17 Nopember 1972, dihadiri oleh kurang lebih dua ratus orang yang terdiri dari unsur-unsur akademis, Tokoh Masyarakat dan Tokoh adat serta aparat Pemerintah Kodya Ambon maupun Provinsi Maluku.
Susunan Panitia seminar dicatat sebagai berikut ;
Ketua
Drs. John Sitanala (Dekan Fakultas Keguruan)
Wakil Ketua
Drs. John A. Pattikayhatu (Ketua jurusan Sejarah)
Sekretaris
Drs. Z. J. Latupapua (Sekretaris Fakultas Keguruan)
Seksi Persidangan yang terdiri dari tiga kelompok
·         Kelompok I diketuai Thos Siahay, BA.
·         Kelompok II diketuai Yoop Lasamahu, BA
·         Kelompok III diketuai Ismail Risahandua, BA
Panitia Pengarah/Teknis Ilmiah diketuai oleh Drs. J.A. Pattikayhatu,
  1. Drs. Tommy Uneputty
  2. Drs. Mus Huliselan
  3. Drs. John Tamaela
  4. Dra. J. Latuconsina
  5. Sam Patty, BA
  6. I. A. Diaz
Pemakalah terdiri dari 7 orang, 3 dari Pusat dan 4 dari daerah
  1. Drs. Moh. Ali (Kepala Arsip Nasional)
  2. Drs. Z. J. Manusama (Pakar Sejarah Maluku)
  3. Drs. I. O. Nanulaita (IKIP Bandung)
  4. Drs. J. A. Pattikayhatu (Fakultas Keguruan Universitas Pattimura)
  5. Drs. T. J. A. Uneputty (Fakultas Keguruan Universitas Pattimura)
  6. Drs. Y. Tamaela (Fakultas Keguruan Universitas Pattimura)
  7. Dra. J. Latuconsina (Fakultas Keguruan Universitas Pattimura)
Seminar berlangsung dari tanggal 14 sampai 17 Nopember 1972 itu akhirnya menetapkan hari lahir kota Ambon pada tanggal 7 September 1575. Bahwa tahun 1575 diambil sebagai patokan pendirian kota Ambon ialah berdasarkan fakta-fakta sejarah yang dianalisa dimana sekitar tahun tersebut sudah dimulai pembangunan benteng “Kota Laha” didataran Honipopu dengan mengerahkan penduduk di sekitarnya oleh penguasa Portugis seperti penduduk negeri / desa Kilang, Ema, Soya, Hutumuri, Halong, Hative, Seilale, Urimessing, Batu Merah dll. Benteng Portugis yang dibangun diberi nama “Nossa Senhora de Anuneiada”. Dalam perkembangannya kelompok pekerja benteng mendirikan perkampungan yang disebut “Soa” Kelompok masyarakat inilah yang menjadi dasar dari pembentukan kota Ambon kemudian (Citade Amboina) karena di dalam perkembangan selanjutnya masyarakat tersebut sudah menjadi masyarakat geneologis teritorial yang teratur.
Pemukiman dan aktifitas masyarakat disekitar Benteng makin meluas dengan kedatangan migrasi dari utara terutama dari Ternate, baik orang-orang Portugis maupun para pedagang Nusantara sebagai akibat dari pengungsian orang-orang portugis dari kerajaan Ternate yang dipimpin oleh Sultan Baabullah. Peristiwa kekalahan Portugis tersebut membawa suatu konsekuensi logis dimana masyarakat di sekitar Benteng Kota Laha itu makin bertambah banyak dengan tempat tinggal yang sudah relatif luas sehingga persyaratan untuk berkembang menuju kepada sebuat kota lebih dipenuhi.
Selanjutnya tentang penetapan tanggal 07 September didasarkan pada peninjauan fakta sejarah bahwa pada tanggal 07 September 1921 , masyarakat kota Ambon diberikan hak yang sama dengan Pemerintah Kolonial Belanda sebagai hasil manifestasi perjuangan Rakyat Indonesia asal Maluku di bahwa pimpinan Alexander Yacob Patty untuk menentukan jalannya Pemerintahan Kota melalui wakil-wakil dalam Gemeeteraad (Dewan Kota) berdasarkan keputusan Gubernur Jenderal tanggal 07 September 1921 nomor 07 (Staatblad 92 Nomor 524). Ditinjau dari segi politik nasional, momentum ini merupakan saat penentuan dari Pemerintahan Kolonial Belanda atas segala perjuangan rakyat Indonesia di Kota Ambon yang sekaligus merupakan suatu momentum kekalahan politis dari bangsa penjajah. Ditinjau dari segi yuridis formal, tanggal 07 September merupakan hari mulainya kota memainkan peranannya di dalam pemerintahan seirama dengan politik penjajah dewasa itu. Momentum inilah yang menjadi wadah bagi rakyat Kota Ambon di dalam menentukan masa depan. Dilain pihak, kota Ambon sebagai daerah Otonom dewasa ini tidak dapat dilepaspisahkan daripada langka momentum sejarah.
Setelah Seminar Sejarah Kota Ambon yang berlansung tanggal 14 sampai 17 Nopember 1972 berhasil menetapkan tanggal 7 September 1575 sebagai Hari lahir Kota Ambon, maka untuk pertama kalinya pada tanggal 7 September 1973 Hari lahir Kota Ambon diperingati.

Sejarah Negeri Porto Saparua


Sekilas  tentang sejarah Negeri Porto dan letak geografisnya sebelum saya menguaraikan atau mengangkat  tentang   salah satu  kubudayaan Negeri   Porto, karena semua ini ada mempunyai mata rantai  hubungan  latar  belakang  tentang  kebudayaan  itu  sendiri  yang  berpengaruh  di  dalam  ciri khas  kehidupan s osial  masyarakat   Negeri   Porto, yang letak  di pulau Saparua.  Pada mulanya yang disebut petuanan adalah suatu wilayah tempat  di mana  para penduduk mengumpulkan  hasil  hutan serta bahan makanan  untuk  keperluan  sehari – hari.   Kemudian lama – kelamaan  wilayah  tersebut dinyatakan  sebagai  hak kelompok tersebut atau mereka menganggap diri menjadi tuan atas wilayah tersebut. Itulah yang dikenal dengan  Hak  Ulayat  atau  Tanah Petuanan Negeri.  Demikianlah  Negeri Porto  mempunyai  tanah  ulayat  atau  tanah  petuanan  negeri  pada  hampir seluruh  jasirah, bagian utara – barat  negeri  Porto  ±  42  atau  lebih  dari  pulau Saparua. Sedangkan sebelah selatan berbatasan dengan Negeri Haria,  kedudukan memanjang  dari barat ke timur 2 km dengan lebar dari utara ke selatan 0,5 km, jadi luas wilayah hunian  ± 1 . Letaknya cukup strategis tepat pada mulut teluk Haria, pintu keluar antara tanjung Hatulani dan Waihokal  menuju  Ambon atau menyusuri selat Saparua tembus tanjung Waiallo menuju ke pulau seram.  Sehingga  negri  ini dinamakan Poru artinya menarik hati, dengan pelabuhannya bernama Namalesi artinya Pelabuhan  yang  indah.  Dengan 97 % beragama Kristen Protestan dan sisa 3% beragama Kristen dari anggota gereja lain. 
Nama  asli  Negeri Porto  adalah  Sama Suru Amalatu Poru Amarima. Samasuru :  ASA – AMA – USU – URU :  Ada  satu  Bapak  yang berkuasa (berwenang) membawa masuk (mengumpulkan) orang – orang, Amalatu : orang – orang yang dikumpulkan pada satu negeri (aman) dan negeri itu di kepalai oleh seorang raja (latu), Poru nama negeri yang artinya menarik hati,  Teun  negeri  adalah  Amarima. Bapak yang berkuasa yang telah  menghimpun  semua orang  –  orang  menjadi  satu  masih ditelusuri sampai   sekarang,   karena  negeri   Porto   adalah   yang   sudah  amat  tua  dan  terdaftar  pada  peta Marcopolo  pada tahun 1237 yang digambarkan dalam peta tersebut penempatannya bersama pulau besar   yang  bernama  Ceram  (pulau  seram),   dalam peta  tersebut   pulau – pulau  masih  jauh  dari keadaan sekarang ini,   Jadi agak sulit untuk  di telusuri nama bapak tersebut. Negeri Porto terdiri dari delapan  soa  atau  uku,  kedelapan  uku  ini dikelompokan dalam dua kelompok masing – masing Uku Toru (kelompok ketiga) dan Uku Rima (kelompok kelima).
Negeri  Porto  adalah  negeri  adat  yang  sudah tentu memiliki : istana negeri  ; Astana dengan nama  Paileimahu  yang  artinya  tikar  jawa / lapangan  terbuka,  Baeleo  yang bernama Hatalepu dan bagi negeri pata siwa terdapat Batu Pamali atau batu pusat negeri.
                                                                                                             
Juga  memiliki  sebuah  perigi  Negeri   yang   namanya   Lekapesi   artinya  perigi   yang  airnya   untuk mempersatukan,  mempunyai sebuah bendera warna dasar hitam, hijau, kuning dengan lukisan gajah putih ditengahnya, juga mempunyai sebuah Pelabuhan Negeri bernama amalesi.                                                                                                                                                                  
Pada abad  ke 19 pelabuhan laut Negeri Porto berada didekat benteng Belanda yang bernama “DELF”,   posisi  benteng pada  lokasi  gedung  gereja  GPM  Porto  “Irene” dan Sekolah Dasar Negeri 1 Porto,  yang  dihancurkan  pada  tanggal  15  Mei  1817  pada  pagi  hari meletusnya perang pattimura dengan ditawannya Residen Saparua “Van  Den  Berg” di dalam baeleo  Negeri Porto, yang perangnya dilanjutkan di dusun Porto “Hitaupu” pada  siang  hari  dengan  menghancurkan  bala tantara Belanda yang datang untuk menyelamatkan Residen tersebut, dan pagi buta tanggal 16 Mei  1817 ke  Saparua serangan ke benteng  Duurstede yang  menelan  banyak  korban di pihak  Belanda.  Jadi   perang awal adalah pembuka jalan tentang perlawanan melawan penjajah di Nusantara berawal di Porto Saparua.  Pada  awal   perang  di Porto  pada tanggal 15 Mei 1817 inilah  yang  diangkat  sebagai  hari Pahlawan Pattimura. Dengan  adanya  peristiwa  itu  maka  pelabuhan Negeri Porto  hancur dan  baru di bangun darurat  pada  tahun  2008  lalu  untuk menjelang acara Natal sedunia orang Porto. Demikian   adalah  sekilas   tentang  sejarah  dari  Negeri  Porto.
Negeri PORTO terdiri dari delapan Soa atau Uku, menurut istilah Maluku Tengah.
Kedelapan Uku ini dikelompokan dalam dua kelompok, masing – masing Uku Toru ( Kelompok Tiga ) dan Uku Rima ( Kelompok Lima ).

Kedelapan Soa tersebut masing – masing mempunyai Kepala Soa dengan status tertentu. Soa Nanlohy disebut Soa Raja karena pimpinannya diangkat juga menjadi Raja Negeri. Soa Sahertian, Soa Tetelepta, Soa Polnaya, Soa Wattimury, Soa Latuihamallo, dan Soa Aponno.
Kepala Soa-nya disebut Kepala AKTENG karena mereka diangkat dengan Surat Keputusan atau Akte dari Residen. Dengan Surat Keputusan dimaksud, maka dia diberikan wewenang dan tugas mengurus sebuah Wijk di samping tugasnya di bidang adat.
Selain itu ada pula Kepala Soa Tana yaitu Kepala Soa BERHITU yang tidak mengurus Wijk hanya menangani urusan adat anak Soa-nya, bahkan Kepala Soa BERHITU ini adalah Tuan Tana, sekaligus Tuan Negeri atau Amanupunyo.

Asal muasal Soa – soa yang membentuk Negeri ini sebanyak  delapan  Soa masing – masing  :

1.    LESIRUHU : Berasal dari pulau Bacan dan membentuk marga Nanlohy dengan teun NIKIRISIYA dan Negeri  lama di OPAL.  Mereka hanyut dilaut dan tiba di Porto pada waktu Poka – poka ( hampir malam ) karenanya dia disebut NANLOHY ( NANU = Berenang, LOHY = Poka – poka ). Teun mata rumahnya adalah NIKIRISIYA artinya Loko ( Pegang ) Parang. LESIRUHU berarti lebih dari semua orang.

2.    MUAREA  : Mereka datang dari Seram Barat dari daerah HUAMUAL. Si pendatang yang bernama Abdullah ini dari keturunan raja – raja dari Seram sehingga dikenal dengan nama Abdullah Latuhuamuallo yang sekarang menjadi LATUIHAMALLO.
Teunnya adalah Rumah PEIHERU telah dipakai sejak masih di Seram. Peiheru artinya menganggap ringan ( Enteng ) satu dengan yang lain. Semula mereka mengambil kedudukan di AMAHORU kemudian sesudah berkuasa, berkedudukan di OPAL disebelah depan yaitu menghadap ke Saparua. Sedang OPAL sebelah belakang yang menghadap ke pantai di duduki oleh Nanlohy.

3.    NAMASINA : Sebernanya mereka berasal dari Banda lalu pergi mencari tempat kediaman lain. Setelah kembali ke Negeri Porto dan ditanyakan dari mana saja selama ini, memperoleh jawaban bahwa ia baru kembali dari tanah Cina. Karenanya disebut NAMASINA artinya dari negeri Cina. Nama teunnya juga adalah Rumah SOPASINA dan setelah melewati orang – orang lain mereka ( Wattimury ) mengambil tempat negeri lama di LATEHURU artinya lewat orang – orang.    
     
4.    LATARISA : Dua orang bersaudara datang dari negeri Tulang di Tanah HITU ( jazirah leihitu di pulau Ambon ) telah mempergunakan nama SAHERTIAN yang kemudian menjadi nama Soa-nya, dari kata SEI HERI TIANE yang artinya Panggayo melewati musuh ( Hongi ) karena waktu datang ke Porto dengan perahunya mereka berdua melewati pasukan Hongi. Setelah di Porto baru dia menerima teunnya yaitu Rumah PEIWAKA yang berarti menuggu keadaan siap siaga. PEI artinya menanti dana WAKA berarti berjaga – jaga. Dia mengambil negeri lama di TAHUKU, sedang satu saudaranya pergi dan berdiam di pulau Molana.

5.    ULALESI  : Berasal dari Onim di Irian Barat sudah memakai nama marga POLNAYA sejak masih di sana. Sewaktu di Onim pernah menenggelamkan satu buah jungku ( Perahu layar besar ) karenanya mereka memakai nama marga POLNAYA. POLO berarti tenggelam dan NAYA berarti naik. Teunnya adalah Rumah PEIHITU yang berarti tunggu atau nanti tujuh kali. Di Porto mereka menempati negeri lama di SAWAHIL.

6.    BEINUSA : Mereka datang dari seram dana dalah yang pertama mendiami petuanan PORTO. Semula menempati negeri lama di MATAKONYO kemudian pindah ke  AMATAWARI. Sebagai orang pertama yang datang ke Porto maka mereka adalah tuan tanah atau tuan negeri yang secara adat disebut AMANUPUNYO Negeri Porto dengan memakai nama marga BERHITU.



7.    MUAHATALEA  : Datang dari Seram Barat di Huamual, sudah memakai marga TETELEPTA karena telah membuat atua memahat batu menjadi Cap. HATETE artinya memotong atau memahat dan LEPTA artinya batu. Teunnya adalah HUAPEA artinya berbau ikan Cakalang. Semula menempati negeri lama AMAHORU, kemudian pindah lagi ke SAMUNYO.

8.    LOHINUSA  : Berasal dari kepulauan Banda, sudah membentuk marga APONNO yang berate bersumpah untuk menjaga nama baik keluarga. APOH artinya bersumpah dan POPOUNNO artinya nama baik keluarga. di Porto menikah dengan perempuan LATUIHAMALLO dan tinggal serumah dengan konyadu atau ipar sehingga diberikan nama teunnya adalah mata rumah TUHITURI artinya tinggal bersama konyadu. Negeri lamanya adalah ditepi pantai LOUWUNYO. Bertempat tinggal di tepi pantai, waktu di Banda bertempat tinggal di tepi pantai LATUAKA sebagai penguasa mendeteksi wilayah lautan ( LAUT artinya lauatan dana TAKA artinya mengawasi ).

Proses perpindahan penduduk dari negeri – negeri lama di gunung ke negeri yang sekarang, terjadi secara bertahap , marga yang mula – mula turun dan menepati negeri yang sekarang adalah marga Nanlohy, Sahertian dan Polnaya. Kemudian disusul marga lain yaitu Latiuhamallo, Tetelepta, Wattimury, Berhitu, dan Aponno. Proses perpindahan dalam dua tahap ini yang kemudian membentuk dua kelompok penduduk yang kini dikenal dengan nama UKU TORU dan UKU RIMA. Uku Toru terdiri dari marga Nanlohy, Sahertian, dan Polnaya, sedangkan Uku Rima terdiri dari marga Latuihamallo, Tetelepta, Wattimury, Berhitu, dan Aponno.